0
KERETA SENJA
Posted by hari_arch
on
19.37
in
cerpen
KERETA SENJA
Sore itu Tomi hanya duduk termangu menatap rintik hujan dari balik
jendela kaca, sementara kereta terus melaju meninggalkan stasiun.
Lamunannya mengembalikan kesadarannya tentang peristiwa semalam. “
Tinggalah di kampung bersama ibu, bantu ibu menjaga ke 2 adikmu” pinta
ibu pada Tomi. “ Kamu kan bisa kerja di kelurahan, nanti ibu minta pak
lurah agar kamu bisa bantu bantu tugas disana, sambil bantu ibu di
sawah” bujuk ibu padanya. “ Enggak bu, Tomi harus merantau ke Jakarta”
ucap Tomi yang bersikeras sambil meninggalkan meja makan dan kemudian
mengunci diri dalam kamar.
Lamunannya beberapa kali tersadarkan ketika kereta berhenti di beberapa
stasiun, dan ia mengamati lalu lalang orang yang menjajakan jualan dari
balik jendela. Sementara diluar hujan semakin deras, hari semakin
gelap. Dia teringat pada Aisyah, anak pensiunan tentara. “ Mas, untuk
apa kamu ke Jakarta, sementara kamu gak punya saudara disana, Jakarta
itu luas mas, aq tidak tega melihatmu klo terjadi apa-apa sama kmu”
bujuk Aisyah sambil menaruh segelas the hangat di meja. “ Aku malu dik,
aku malu pada bapakmu, aku malu pada orang sekampung, mas ini lulusan
S1, tapi jadi pengannguran, coba kamu pahami aku, aku yakin aku akan
dapat pekerjaan disana, dan membawa banyak duit agar bisa menikahimu”,
Tomipun menggenggam tangan Aisyah meyakinkan dia. Dari balik pintu kamar
terdengar langkah sesosok paruh baya yang sangat dia hormati, “ Bener
kata Tomi, ngapain kamu mencegah kepergiannya, biarkan saja, wong
sarjana kok nganggur” kata2 bapaknya yang trakir itu amatlah menusuk
hati Tomi, selama ini memang hubungan mereka gak pernah disetujui oleh
ayahnya Aisyah. “ Wong kmu lho masih muda nduk, masih banyak pemuda desa
yang kaya yang mau sama kamu” ucap ayah dengan meyakin kan Aisyah. “
Bapak, kok bapak ngomongnya gitu, gak kasian apa sama mas Tomi, bukannya
menghibur malah menjadikan aku dijodoh-jodohkan, kayak jamannya bapak
aja, kuno” ucap Aisyah membela Tomi. “ He nduk, jangan sekali-kali
melawan orang tua ya, durhaka” tegas ayahnya tak suka anaknya berani
menyanggah , kata Aisyah seakan melawan bapaknya. “Aisyah benci ama
bapak, benci” dia pun menangis menuju kamarnya dan membanting pintu
kamar dengan keras,” Tuh belum jadi istrimu saja, anaku udah berani
melawan orang tuanya, gimana nanti klo menikah denganmu, rusak rumah
tangganya” seraya memelototi Tomi yang duduk menunduk, dia semakin
terpojokkan keadannya. antara marah dan sedih, bercampur jadi satu,
tapi itu semua dia tahan, jangan sampai malah membuat keadaan semakin
memanas. “ Bapak karo anak podo ae watake” kata-kata ayahnya Aisyah
menyulut amarah Tomi yang dari tadi ditahannya demi menghormati orang
yang lebih tua, tapi untuk kali ini tidak, tidak untuk seseorang,
siapapun itu yang telah merendahkan derajat orang tuanya, tangannya
menengepal geram, denyut jantungnya semakin cepat. Seperti gunung yang
akan siap memuntahkan magmanya, seperti itu gambaran amarah yang masih
dapat iya tahan. “ Pak, bapak boleh menghina-hina saya, bapak boleh
merendahkan derajat saya, tapi tidak untuk almarhum ayah yang sudah
membesarkan saya, camkan itu pak” dia pun beranjak berdiri. “ ok, saya
akan buktikan bahwa saya tidak seperti yang bapak katakan” mukanya mulai
menunjukkan rasa kesal tak terkira
“
Halah, anak ingusan sepertimu mau jadi apa, ha..” ucapnya sambil
tertawa cekikikan sambiil menunjuk nunjuk muka Tomi, sementara tangan
yang laen berkacak pingang. Dengan cepat sekelebat bayangan muncul
bersimpuh di hadapan ayah Aisyah, “udah lah pak, jangan bertengkar
mulut, gak enak sama tetangga, mas Tomi, sebaiknyya kamu pulang saja,
sebelum amarah bapak meledak-ledak” ucap Aisyah sambil menangis
tersedu-sedu.
“
Pak, mau pakai selimut?” tiba2 seorang petugas kereta api mengembalikan
lamunan tomi. “ Ah gak perlu pak, saya bawa jaket” ucap Tomi sambil
merapikan tasnya yang ia pangku dari tadi. Semakin larut malam, udara
semakin dingin, begitu pula hati Tomi, sedingin hujan di luar sana.
Tomipun tidak tahu harus kemana setelah nanti di Jakarta. Cuma sebuah
alamat yang dia tahu, alamat seorang temen SMA nya dulu yang sekarang
bekerja di bengkel. kereta terus melaju, timbul dan tenggelam Tomi
berulanmg kali teringat ibu dan ke 2 adik yang dia tinggalkan di rumah,
sebenernya dia tidak tega meninggalkan keluarga yang dia sayangi,
apalagi setelah sepeninggalnya ayah yang menjadi tulang punggung
keluarga. “ Ayah bangga pada kamu, pasti temen-temen ayah akan banyak
memuji ayah, karena telah berhasil menyekolahkan anaknya di kampus
ternama di negri ini” kata2 itu terus terngiang2 di kepalanya. Seolah
menjadi beban tersendiri buat Tomi, menjadi anak sulung dan harus
menjadi tulang punggung keluarga. “ Ayah mau kamu berjanji 1 hal, jaga
ibu dan adik-adikmu, “ itu kata kata terakhir yang Tomi ingat, maaf yah,
untuk yang satu ini Tomi gak bisa menepati janji, Tomi harus tetap
pergi ke Jakarta. Rasa bersalah, rindu, marah bercampur jadi satu,
kereta pun terus melaju menembus kegelapan malam, sesekali bunyi klakson
panjang bertiup dari lokomotif yang membawa 8 gerbong menempuh jarak
350 km.
Posting Komentar