0
penjual samiler
Posted by hari_arch
on
00.41
in
kisah inspirasi
Ketika aku berjalan
dari parkir motor menuju delta plaza, di tepi jalan kulihat seorang bapak-bapak
paruh baya sedang duduk menunggui bungkusan besar sambil melihat lalu lalang
keramaian, tak ada yang memperhatikan beliau, tergerak hati ini untuk mendekat
dan mengetahui lebih jauh bapak ini. Namanya Wagiman, 50 tahun, asal Desa
Ngawen, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, ini adalah penjual
samiler, kerupuk yang dibuat dari tepung ketela pohon.
Sejak 1979 ia sudah memanggul jualannya berkeliling Surabaya. "Sudah enam tahun ini saya berjualan di sini karena sudah tidak kuat berkeliling dari kampung ke kampung. Meski sering diusir satpol PP, tapi orang yang lewat lumayan ramai," ucapnya,.
Pria yang hanya lulusan SD ini bercerita seminggu sekali ia harus pulang pergi untuk mengambil 200 bungkus samiler yang beratnya sekitar 30 kilogram dari Blora untuk ia jajakan di Surabaya. Satu bungkus berisi tujuh keping kerupuk ini ia jajakan seharga 2.000 rupiah.
"Biasanya menumpang kereta barang, kadang-kadang saja naik kereta ekonomi, itu pun tidak selalu membayar. Biasanya kita cukup memberi 5.000 rupiah pada petugas di kereta. Sedangkan untuk samiler saya harus menyetor 140.000 rupiah dari semua yang saya bawa ini. Dalam sehari saya biasanya mendapatkan 30.000 sampai 40.000 rupiah. Jadi keuntungannya dalam seminggu setelah dipotong ongkos makan sekitar 75.000 rupiah sampai 100.000 rupiah," katanya.
Ia melanjutkan seminggu sekali ia harus kembali dengan kereta api ke Blora yang jaraknya lebih dari 180 km dari Surabaya itu untuk menambah stok samilernya yang kemudian ia bawa lagi ke Surabaya. Demi mengakali kecilnya pendapatan itu, Wagiman harus rela tidur di pinggir jalan, bukan di rumah kos-kosan. waktu aq tanya..beliau tidur di kantor pajak gubeng
“ Cukup pakai kardus bekas, kalau malam apalagi setelah hujan memang dingin, tapi alhamdulillah saya tidak pernah sakit. Pernah ada teman saya yang tidak kuat menjalani ini sampai masuk angin. Tidak lama setelah itu kami bawa ke RS Dr Soetomo, ia meninggal," katanya.
Ayah satu anak ini mengaku akan terus menjalani profesinya sampai tidak kuat lagi berjualan. "Bagaimana lagi untuk nempur (beli) beras Mas. Saya memang bisanya hanya ini, tidak punya keahlian lain. Begitu juga istri saya di desa, cuma jadi buruh tani yang hanya kerja di musim tanam dan musim panen, bayarannya hanya 20.000 rupiah per hari. Jadi jelas tidak cukup, mau tidak mau harus dijalani," pungkasnya. selo cahyo basuki/P-3
Pada saat menulis blog ini, ternyata secara gak sengaja, aku mendapati foto pak Wagiman ini di Koran Digital Jakarta edisi januari 2012, aku kaget sekali, gak nyangka ternyata kisah perjuangan hidup beliau menginpirasi wartawan untuk dibagikan ke banyak pembaca, dan aku pun semakin semangat untuk menuliskan kisah bapak ini, yang secara langsung aku melihat guratan wajah letihnya yang berjuang melawan kerasnya hidup, hidup dalam kesederhaan namun punya semangat tinggi untuk tak berputus asa. Semoga cerita ini menginspirasi kita semua. Bahwa masih banyak orang yang hidup kekurangan di luar sana, Alangkah baiknya kita senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah kita teima, bukan meratapi nasib dan mengeluhkan apa yang belum kita miliki.
dan bibit itu tumbuh makin menjulang
bibit yang ke dua bergumam “ aku takut, jika kutanam kan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu, apa yang akan kutemui di bawah sana. bukankah disana sangat gelap?dan jika kuterobos tunasku ke atas, bukankah keindahan tunasku akan hilang?tunasku pasti akan terkoyak.
apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba untuk memakannya?dan pasti jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah, tidak, akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman”
dan bibit yang kedua itupun menunggu, dalam kesendirian.
beberapa pekan kemudian, seekor ayam mengais tanah itu, menemukan bibit yang ke 2 tadi, dan mencaploknya segera
Sejak 1979 ia sudah memanggul jualannya berkeliling Surabaya. "Sudah enam tahun ini saya berjualan di sini karena sudah tidak kuat berkeliling dari kampung ke kampung. Meski sering diusir satpol PP, tapi orang yang lewat lumayan ramai," ucapnya,.
Pria yang hanya lulusan SD ini bercerita seminggu sekali ia harus pulang pergi untuk mengambil 200 bungkus samiler yang beratnya sekitar 30 kilogram dari Blora untuk ia jajakan di Surabaya. Satu bungkus berisi tujuh keping kerupuk ini ia jajakan seharga 2.000 rupiah.
"Biasanya menumpang kereta barang, kadang-kadang saja naik kereta ekonomi, itu pun tidak selalu membayar. Biasanya kita cukup memberi 5.000 rupiah pada petugas di kereta. Sedangkan untuk samiler saya harus menyetor 140.000 rupiah dari semua yang saya bawa ini. Dalam sehari saya biasanya mendapatkan 30.000 sampai 40.000 rupiah. Jadi keuntungannya dalam seminggu setelah dipotong ongkos makan sekitar 75.000 rupiah sampai 100.000 rupiah," katanya.
Ia melanjutkan seminggu sekali ia harus kembali dengan kereta api ke Blora yang jaraknya lebih dari 180 km dari Surabaya itu untuk menambah stok samilernya yang kemudian ia bawa lagi ke Surabaya. Demi mengakali kecilnya pendapatan itu, Wagiman harus rela tidur di pinggir jalan, bukan di rumah kos-kosan. waktu aq tanya..beliau tidur di kantor pajak gubeng
“ Cukup pakai kardus bekas, kalau malam apalagi setelah hujan memang dingin, tapi alhamdulillah saya tidak pernah sakit. Pernah ada teman saya yang tidak kuat menjalani ini sampai masuk angin. Tidak lama setelah itu kami bawa ke RS Dr Soetomo, ia meninggal," katanya.
Ayah satu anak ini mengaku akan terus menjalani profesinya sampai tidak kuat lagi berjualan. "Bagaimana lagi untuk nempur (beli) beras Mas. Saya memang bisanya hanya ini, tidak punya keahlian lain. Begitu juga istri saya di desa, cuma jadi buruh tani yang hanya kerja di musim tanam dan musim panen, bayarannya hanya 20.000 rupiah per hari. Jadi jelas tidak cukup, mau tidak mau harus dijalani," pungkasnya. selo cahyo basuki/P-3
Pada saat menulis blog ini, ternyata secara gak sengaja, aku mendapati foto pak Wagiman ini di Koran Digital Jakarta edisi januari 2012, aku kaget sekali, gak nyangka ternyata kisah perjuangan hidup beliau menginpirasi wartawan untuk dibagikan ke banyak pembaca, dan aku pun semakin semangat untuk menuliskan kisah bapak ini, yang secara langsung aku melihat guratan wajah letihnya yang berjuang melawan kerasnya hidup, hidup dalam kesederhaan namun punya semangat tinggi untuk tak berputus asa. Semoga cerita ini menginspirasi kita semua. Bahwa masih banyak orang yang hidup kekurangan di luar sana, Alangkah baiknya kita senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah kita teima, bukan meratapi nasib dan mengeluhkan apa yang belum kita miliki.
Kisah
Inspirasi
ada
2 buah bibit tanaman yang terhampar di sebuah lading yang subur. bibit yang
pertama berkata, “ aku ingin tumbuh besar. aku ingin menginjakkan akarku
dalam-dalam di tanah ini, dan menjulangkan tunas-tunasku di atas kerasnya tanah
ini, aku ingin membentangkan tunasku, untuk menyampaikan salam musim semi. aku
ingin merasakan hangatnya matahari, dan kelembutan embun pagi di pucuk-pucuk
daunku”dan bibit itu tumbuh makin menjulang
bibit yang ke dua bergumam “ aku takut, jika kutanam kan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu, apa yang akan kutemui di bawah sana. bukankah disana sangat gelap?dan jika kuterobos tunasku ke atas, bukankah keindahan tunasku akan hilang?tunasku pasti akan terkoyak.
apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba untuk memakannya?dan pasti jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah, tidak, akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman”
dan bibit yang kedua itupun menunggu, dalam kesendirian.
beberapa pekan kemudian, seekor ayam mengais tanah itu, menemukan bibit yang ke 2 tadi, dan mencaploknya segera
Renungan
memang, selalu saja ada
pilihan dalam hidup, selalu saja ada lakon-lakon yang harus kita jalani, namun
seringkali kita dalam kepesimisan, kengerian, keraguan, dan kebimbangan yang
kita ciptakan sendiri. kita kerap terbuai dengan alasan-alasan untuk tak
melangkah, tak mau menata hidup. kerana hidup adalah pilihan, maka, hadapilah
itu dengan gagah. dan karena hidup adalah pilihan, maka, pilihlah dengan bijak.
Wisdom
of the day
alam memberi kita satu lidah,
akan tetapi memberi kita dua telinga, agar supaya kita 2 kali lebih banyak
mendengar dari pada berbicara ( La Rouchefoucauld)
Posting Komentar